Mengenalkan dan melestarikan tenun ikat bernilai tradisi bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya, mengaplikasikan kain tenun ikat ragam motif dan warna dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur sebagai aksesori.
Utamanya, kain tenun ikat NTT berupa kain selimut, sarung, atau selendang. Namun kain tenun ikat NTT dengan bahan lebih tipis juga bisa digunakan untuk membuat pakaian siap pakai seperti jas atau blazer. Kain tenun ikat NTT juga diolah menjadi ragam model dan fungsi aksesori. Sebut saja dompet untuk perempuan dan laki-laki, tas wanita, tempat pensil, dompet koin, wadah kacamata, wadah majalah, hingga detail pita yang mempercantik bandana untuk anak-anak.
Berbagai toko suvenir dan kain tenun di Kupang, NTT, memamerkan ragam model aplikasi tenun ikat ini. Selain mempromosikan kain tenun khas dari daerah Timor ini, aplikasi tenun ikat pada aksesori juga punya nilai fungsi.
Lidia, pemilik toko suvenir di selatan kota Kupang, mengatakan terdapat ragam motif kain tenun ikat yang populer di NTT. Toko yang berjarak sekitar 20 menit dari bandar udara El Tari Kupang, ini menyebutkan sejumlah motif yang mengacu pada nama daerah. Seperti motif Sumba, Manggarai, Biboki, Rote, Sabu, Alor, Timur Amarasi, Ende, Maumere, Kupang, Lembata, dan Larantuka.
"Kebanyakan warna hitam, dan yang membedakan satu kain tenun ikat dengan lainnya adalah motifnya. Motif Sumba misalnya, cenderung memiliki gambar binatang. Motif Sumba biasanya paling mahal dibandingkan motif lainnya," jelas Lidia kepada Kompas Female di Kupang, beberapa waktu lalu.
Motif tenun ikat di NTT, kata Lidia, juga menentukan tingkat sosial. Pada daerah tertentu, motif tenun ikat tidak boleh dipasarkan karena motif tersebut milik para raja. Nah, motif yang eksklusif ini tidak boleh dijahit menjadi baju atau aksesori lainnya. Sementara motif tetun ikat milik rakyat bebas diperjualbelikan, dan dijahit untuk pakaian serta aksesori lainnya.
Bahan dasar pembuatan kain tenun ikat NTT juga beragam. Perajin kain tenun yang tersebar di Kupang dan di berbagai daerah di NTT, menggunakan dua pilihan bahan: benang alami dari tanaman dan benang pabrikan. Benang alami, misalnya dari akar mengkudu yang digunakan perajin di Lembata, biasanya menggunakan pewarna alami dan cenderung gelap. Sedangkan benang pabrikan umumnya lebih terang. Tekstur kain tenun dari benang alam juga biasanya lebih tebal dibandingkan benang pabrikan. Perbedaan cara pembuatan ini memengaruhi harga. Biasanya, kain tenun ikat dari bahan alam harganya lebih tinggi.
Untuk selendang dari tenun ikat benang alam biasanya dibanderol Rp 150.000 - Rp 200.000, tergantung tingkat kerumitan dan asal daerah. Sementara tenun ikat dari benang toko atau pabrikan, biasanya lebih murah, mulai Rp 25.000. "Motif binatang biasanya lebih mahal dari motif bunga pada tenun ikat," lanjut Lidia, menambahkan tenun ikat yang diaplikasikan dalam bentuk pakaian harga terendahnya dihargai Rp 215.000.
Kain tenun ikat, berupa selendang atau selimut, biasanya menjadi incaran wisatawan untuk membawa oleh-oleh dari NTT. Namun aksesori lain seperti taplak meja, hiasan dinding, dompet, atau benda fungsional lainnya juga menjadi buah tangan tak kalah populer dari kawasan timur Indonesia. Ragam model aksesori dari tenun ikat NTT ini memanjakan mata, dan menggoda karena keunikan dan kekayaan motif yang terlihat semakin apik dalam aplikasi aksesori.
Sumber :
Kompas.com